ANALOGI.ID | BANDA ACEH – Penutupan semua bank konvensional dan monopoli single banking di Aceh telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, terutama bagi pelaku bisnis di semua lapisan masyarakat.
Menyikapi hal itu, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) menyatakan dukungan kepada Pemerintah Aceh (Pemda) dan DPR Aceh untuk melakukan revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) guna mengundang kembali bank konvensional untuk membuka kantornya di seluruh Aceh.
“Kita semua perlu mendukung upaya Pemerintah Aceh dan DPRA untuk menghadirkan bank konvensional berdampingan dengan bank syariah di Aceh. Monopoli satu sistem perbankan tidak sehat dalam persaingan bisnis,” ujar Safaruddin SH MH, Ketua YARA, dalam Coffee Morning bersama jurnalis di Sanusi Kopi, Banda Aceh (23/05/2023).
Menurut Safaruddin, Aceh adalah daerah istimewa yang mesti memiliki dua sistem perbankan, bukan malah mengurangi.
“Dalam Qanun Pokok-pokok Syariat Islam disebutkan bahwa semua bank konvensional yang beroperasi di Aceh mesti membuka kantor unit syariah. Tidak boleh hanya buka bank konvensional saja, tetapi wajib ada bank syariah secara berdampingan,” ujar Safar.
“Ini baru namanya istimewa, bank konven wajib buka kantor syariah. Bukan malah disuruh tutup yang konven,” katanya sambal ngopi bersama belasan wartawan dari berbagai media.
“Kami dari YARA sejak awal menolak penutupan semua bank konvensional di Aceh. Kami sudah memprediksi akan muncul masalah sosial ekonomi jika dipaksakan monopoli satu sistem perbankan dan kemudian terbukti terjadi. Monopoli dimana-mana memang tak baik,” katanya.
“Kami mendukung Pemerintah Aceh dan DPRA untuk menghadirkan kembali bank konvensional agar orang Aceh tak terisolasi dalam hubungan bisnis dengan daerah dan negara lain,” katanya.
Safar menambahkan, pertumbuhan ekonomi Aceh sekarang ini terendah di Sumatera, berbeda dengan lain terutama Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) atau Sumut.
Safaruddin mengatakan, ada rekan diskusinya yang pakar ekonomi syariah di Aceh mengajak Aceh dapat meniru kemajuan ekonomi di Kepri yang banyak tersedia bank konvensional di sana, terutama di Batam.
“Kami sepakat agar Aceh meniru daerah yang perekonomian maju, bukan malah coba-coba konsep baru dengan resiko terjadi kekacauan transaksi keuangan,” katanya.
Ditambahkan, penerapan Syariat Islam agar mengedepankan kemaslahatan umat dan harus secara kaffah, tidak boleh ada olah dan manipulasi, apalagi sampai memfitnah kelompok yang berbeda pandangan dalam aspek yang masih ikhtilaf.
“Kami mendukung beroperasinya bank syariah di Aceh. Kami juga mendukung adanya bank konvensional. Rakyat silakan memilih mana yang dianggap mudah dan terbaik jika melakukan pinjaman modal usaha, transaksi dan lainnya. Biarkan konsumen yang memilih mana bank yang berpihak rakyat dan mana yang mencekik leher rakyat,” serunya.
Safaruddin mendukung semua anggota DPRA dan DPR-RI asal Aceh memiliki akun bank konvensional. Demikian juga seluruh dunia Islam, apalagi provinsi-provinsi lain di Indonesia termasuk Kepri.
“Aceh tak boleh terisolir dalam pergaulan bisnis nasional dan internasional. Di Aceh harus ada pilihan bank syariah dan konvensional sehingga pebisnis memiliki banyak pilihan,” katanya.
“Apalagi pada tahun 2024 akan ada even nasional besar, yaitu PON Aceh-Sumut. Tamu diperkirakan akan datang ke Aceh sekitar 12 ribu orang. Jangan sampai muncul masalah dalam transaksi keuangan nantinya yang membuat panik,” pesan dia.
Kami menentang jika ada anggota DPRA dan DPR-RI asal Aceh yang bersikap munafik. Misalnya di depan rakyat ngomong begini sementara ketika berada di luar Aceh mereka berbuat lain lagi.
“Jangan sampai ada anggota DPRA dan DPR-RI asal Aceh menyatakan anti bank konvensional tapi mereka membuka akun bank konvensional di luar Aceh. Makanya buka saja bank konvensional di Aceh agar tak muncul sikap hipokrit dalam masyarakat Aceh,” pungkas Safar.
Jangan Demo DPRA
Dalam kesempatan itu, Safaruddin mengajak mahasiswa, terutama dari UIN Ar-Raniry agar tidak menggelar demo di depan gedung DPRA pada Rabu (24/05).
“Sebaiknya mahasiswa ajak saja DPRA dan para pelaku bisnis di Aceh untuk berdiskusi tentang pelayanan perbankan, bukan malah menggelar demo,” kata Safaruddin.
Dia meminta agar Retor UIN Ar-Raniry bersama para dekan agar dapat mencegah mahasiswa turun ke jalan gara-gara beda pemahaman dalam sistem perbankan.
“Rektor UIN Ar-Raniry perlu memberikan pemahaman kepada mahasiswa dalam sistem perbankan sehingga selaras dengan kebijakan daerah (Gubernur Aceh) dan Pusat (Menteri Agama),” saran Safar.
“Kalau rektor perguruan tinggi negeri berjalan berseberangan dengan Pemda dan Pemerintah Pusat kapan majunya Aceh dalam konteks pembangunan keindonesiaan,” tanya dia sambil menyatakan ada beberapa pihak yang mengaku tak mampu membeda praktik mencari keuntungan (laba) pada bank syariah dan konvensional. []